Sepanjang menunaikan ibadah (shalat dan berihram), kain
ihram atau baju yang dipergunakan harus dalam keadaan suci. Keharusan
tersebut sesuai dengan penegasan firman Allah Swt dalam Surat Al-Baqarah
ayat 222:
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَ يُحِبُّ
الْمُتَطَهِّرِيْنَ
Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang
bertaubat dan orang-orang yang bersuci.
Dan sabda Nabi saw:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صلى
الله عليه وسلم : لاَ يَقْبَلُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ صَدَقَةً مِنْ غُلُوْلٍ
، وَلاَ صَلاَةً بِغَيْرِ طَهُوْرٍ . أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ وَأَبُوْ دَاوُدَ
وَالنَّسَائِيْ وَابْنُ مَاجَه .
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar dari Nabi saw:
"Allah 'azza wa jalla tidak dapat menerima sedekah dari hasil yang tidak
halal dan tidak dapat menerima shalat tanpa wudlu."
Percikan air kencing yang mengenai kain ihram atau baju
dihukumi sebagai najis ma'fu (dimaafkan), sepanjang bekas percikan
itu tidak terlihat oleh mata yang berpenglihatan normal. Upaya menghindar
kenajisan tersebut dipandang masyaqqat dan karenanya ibadah shalat
dan sebagainya dapat dilaksanakan serta sah hukumnya.
اَلْفِقْهُ اْلإِسْلاَمِيُّ وَأَدِلَّتُهُ ، وَهْبَة
الزُّحَيْلِي جزء الأول صـ 173
مَذْهَبُ الشَّافِعِيَّةِ : لاَ يُعْفىَ عَن شَيْءٍ مِنَ النَّجَاسَاتِ
إِلاَّ مَا يَأْتِي : مَا لاَ يُدْرِكُهُ الْبَصَرُ الْمُعْتَدِلُ
كَالدَّمِ الْيَسِيْرِ وَالْبَوْلِ الْمُتَرَشِّشِ .
[الْمَجْمُوْعُ 1 : 266 ، 292 - مُغْنِي الْمُحْتَاجْ 1 : 81 ، 191 ، 194 -
شَرْحُ الْبَاجُوْرِيْ : 1 : 104 ، 107 - شَرْحُ الشَّرْقَاوِيْ : 1 : 133]
Madzhab Syafi'i: "Tidak dapat dimaafkan sedikit pun
dari najis-najis, kecuali berikut: apa yang tidak dapat dilihat oleh
pandangan mata yang normal seperti darah yang sedikit dan air kencing yang
memercik."
Adapun anggota badan yang terkena percikan air kencing,
harus diupayakan mensucikannya, antara lain dengan memanfaatkan kertas tisu
yang telah dibasahi dengan air suci. Dengan demikian betapa telah mengering
karena udara atau sinar matahari, tetap dihukumi sebagai najis ghairu
al-mariah/ghairu al-'ainiyah.
اَلْفِقْهُ اْلإِسْلاَمِيُّ وَأَدِلَّتُهُ ، وَهْبَة
الزُّحَيْلِي ، جزء الأول صـ 168
مَا لاَ يَكُوْنُ مَرْئِيًّا بَعْدَ الْجَفَافِ كَالْبَوْلِ وَنَحِوْهِ ،
أَيْ مَا لاَ تَكُوْنُ ذَاتُهُ مُشَاهَدَةً بِحِسِّ الْبَصَرِ .
وَطَهَارَتُهُ اَنْ يُغْسَلَ حَتَّى يَغْلِبَ عَلَى ظَنِّ الْغَاسِلِ أَنَّ
الْمَحَلَّ قَدْ طَهُرَ .
[فَتْحُ الْقَدِيْرِ : 1 : 145 - اَلدُّرُّ الْمُخْتَارُ : 1 : 303 - 307]
Apa yang tidak terlihat setelah kering seperti air
kencing dan lainnya. Artinya, apa yang zatnya tidak dapat disaksikan oleh
indera penglihatan. Dan mensucikannya hendaklah dibasuh, sehingga kuat pada
dugaan orang yang membasuh bahwa tempat itu telah menjadi suci.
فِقْهُ السُّنَّةِ : سَيِّدْ سَابِقْ : اَلثَّوْبُ
وَالْبَدَنُ إِذَا أَصَابَتْهُمَا نَجَاسَةٌ يَجِبُ غَسْلُهُمَا بِالْمَاءِ
حَتَّى تَزُوْلَ عَنْهُمَا إِنْ كَانَتْ مَرْئِيَّةً كَالدَّمِ . فَإِنْ
بَقِيَ بَعْدَ الْغَسْلِ اَثَرٌ بَشُقُّ زَوَالُهُ فَهُوَ مَعْفُوٌّ عَنْهُ
، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ مَرْئِيَّةً كَالْبَوْلِ فَإِنَّهُ يِكْتَفِي
بِغَسْلِهِ وَلَوْ مَرَّةً وَاحِدَةً
[اَلْجُزْءُ اْلأَوَّلُ صـ 26]
Fiqih Sunnah dari Sayyid Sabiq: "Pakaian dan badan,
apabila terkena najis maka wajib membasuhnya denan air sehingga najis itu
lenyap darinya, jika najis itu kelihatan seperti darah. Jika sesudah dibasuh
masih tetap bekasnya yang sulit menghilangkannya, maka dimaafkan. Jika tidak
kelihatan seperti air kencing, maka sesungguhnya cukup dengan membasuhnya
meskipun hanya satu kali."