PERMASALAHAN :
Bolehkah men-
jama' (taqdim) sekaligus meng-
qashar
shalat
dluhur dan
ashar pada waktu
dluhur ketika masih di
rumah sendiri tetapi siap akan bepergian jauh?
JAWABAN :
Menjama' shalat antara dluhur dan ashar, maghrib
dan isya', menempuh cara taqdim atau ta'khir pada dasarnya
diperkenankan apabila ada hajat (kebutuhan) tertentu. Tidak hanya karena alasan
perang, hujan lebat atau menahan rasa sakit. Kebolehan tersebut juga berlaku
saat seseorang tidak dalam perjalanan (musafir).
بُغْيَةُ الْمُسْتَرْشِدِيْنَ : باعلوي صـ 77
حَكَى الْخَطَّابِيُّ عَنْ اَبِي إِسْحَقَ جَوَازَهُ (الْجَمْعَ) فِيْ
الْحَضَرِ لِلْحَاجَةِ وَإِنَ لَمْ يَكُنْ خَوْفٌ وَلاَ مَطَرٌ وَلاَ مَرَضٌ .
وَبِهِ قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ .
Imam Al-Khaththabi menghikayatkan dari Abu Ishaq akan
kebolehan menjamak shalat (di rumah) tidak bepergian karena ada hajat, meskipun
tidak ada ketakutan, tidak ada hujan, dan tidak sakit. Ibnu Mundzir telah
berpendapat demikian.
Nabi saw pernah men-jama' antara dluhur dan
ashar, maghrib dan isya' di Madinah tidak terkait suasana perang atau hujan
lebat. Kejadian itu dipahami oleh Abdullah bin Abbas sebagai wujud keinginan
beliau untuk tidak mempersulit umatnya.
رَوَى الْجَمَاعَةُ إِلاَّ الْبُخَارِي عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم جَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ
وَبَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِيْنَةِ مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ
مَطَرٍ . قِيْلَ لاِبْنِ عَبَّاسٍ مَا أَرَادَ بِذ لِكَ ؟ قَالَ : أَرَادَ أَنْ
لاَ يُحَرِّجَ أُمَّتَهُ .
Sekelompok ahli hadits, kecuali Bukhari telah meriwayatkan
dari Ibnu 'Abbas bahwa Nabi saw menjamak antara shalat dhuhur dan ashar dan
antara shalat maghrib dan isyak tanpa ada ketakutan dan hujan. Dikatakan kepada
Ibnu Abbas, "Apa yang beliau kehendaki dengan demikian itu?" Dia menjawab,
"Beliau menginginkan agar tidak menyusahkan umatnya".
Shalat dengan jama' taqdim sudah bisa dilakukan oleh
orang yang siap bepergian. Sekalipun ia masih berada di kampung tempat
tinggalnya. Namun sebaiknya shalat jama' tersebut dilakukan di luar
rumahnya, yaitu di masjid atau mushalla terdekat.
Hal ini dimaksudkan agar yang bersangkutan nyata-nyata telah
mengawali perjalanannya. Saran menunaikan shalat di luar rumah tempat tinggalnya
merujuk pada pertimbangan lokasi Madinah yang sangat spekulatif untuk diartikan
sebagai "rumah kediaman Nabi saw". Sebab tradisi beliau yang tidak pernah
menunaikan shalat maktubah kecuali dengan berjamaah di masjid yang berada di
sebelah barat rumah beliau.
Adapun keinginan meng-qashar shalat rubaiyah, maka
peluang mengamalkannya harus telah melintasi tapal batas desa. Karena kemutlakan
shalat qashar harus terkait dengan kondisi bepergian (dharbun fi
al-ardli) sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat
101.
فِقْهُ السُّنَّةِ : سَيِّدْ سَابِقْ ، 1 صـ 241
قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ : وَلاَ أَعْلَمُ اَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم
قَصَرَ فِيْ سَفَرٍ مِنْ أَسْفَارِهِ إِلاَّ بَعْدَ خُرُوْجِهِ مِنَ
الْمَدِيْنَةِ .
Ibnu Mundzir berkata, "Saya tidak mengetahui bahwa Nabi
saw meng-qashar shalat dalam satu perjalanan dari perjalanan-perjalanan beliau
kecuali sesudah beliau keluar dari kota Madinah."
وَقَالَ اَنَسُ بْنُ مَالِكٍ : صَلَّيْتُ الظُّهْرَ مَعَ
النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم بِالْمَدِيْنَةِ اَرْبَعًا ، وَبِذِى
الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ [رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ]
وَيَرَى بَعْضُ السَّلَفِ أَنَّ مَنْ نَوَى السَّفَرَ يَقْصُرُ وَلَوْ فِيْ
بَيْتِهِ
Anas bin Malik berkata, "Saya shalat dhuhur beserta Nabi
saw di Madinah empat rakaat dan di Dzul Hulaifah dua rakaat." Hadits riwayat
sekelompok ahli hadits.
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ : شَهِدْتُّ الْفَتْحَ
مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَكَانَ لاَيُصَلِّي إِلاَّ
رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يَقُوْلُ ِلأَهْلِ الْبَلَدِ صَلُّوْا أَرْبَعًا فَأَنَا
مُسَافِرٌ
[اَخْرَجَهُ اَبُوْ دَاوُدَ]
Imran bin Hushain berkata, "Saya menyaksikan pembebasan
kota Makkah bersama Rasulullah saw; maka beliau tidak shalat kecuali dua rakaat,
kemudian beliau bersabda kepada penduduk Makkah, "Shalatlah kalian empat rakaat.
Saya musafir." Hadits riwayat Abu Dawud.
Rumusan Bahtsul Masail terkait Penyelenggaraan Ibadah Haji, Departemen Agama Wilayah Jawa Timur, Asrama Haji Sukolilo, 28-29 Oktober 2002. Perumus: Drs. H. Hasyim Abbas. Anggota: KH. Masduqi Machfudz, KH. Miftachul Akhyar, KH. M. Sholeh Qosim, KH. Muammal Hamidi, Drs. H. Sudjari Dahlan, Drs. H. Zainuddin Mz, MA, Drs. H. Syafruddin, Drs. H. Djazuli Noer.