Penetapan Tan'im sebagai miqat umrah diperoleh dari
perintah Nabi saw kepada 'Aisyah. Sedangkan Ji'ranah terbaca dari
pelaksanaan umrah Nabi saw.
اِبْنِ بَازْ : التَّحْقِيْقُ واْلإِيْضَاحُ صـ 24-25
لَكِنْ مَنْ اَرَادَ الْعُمْرَةَ وَهُوِ فِي الْحَرَمِ فَعَلَيْهِ اَنْ
يَخْرُجَ اِلِى الْحِلِّ وَيُحْرِمَ بِالْعُمْرَةِ فِيْهِ لأَِنَّ
النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم لَمَّا طَلَبَتْ مِنْهُ عَائِشَةُ
الْعُمْرَةَ اَمَرَ اَخَاهَا عَبْدَ الرَّحْمَـنِ اَنْ يَخْرُجَ بِهَا
اِلَى الْحِلِّ فَتُحْرِمَ مِنْهُ . دَلَّ ذَلِكَ عَلَى اَنَّ
الْمُعْتَمِرَ لاَ يُحْرِمُ بِالْعُمْرَةِ مِنَ الْحَرَمِ ، وَإِنَّمَا
يُحْرِمُ بِهَا مِنَ الْحِلِّ .
Akan tetapi orang yang ingin umrah sedangkan dia
berada di tanah haram, maka dia wajib keluar ke tanah halal dan berihram
umrah di tempat tersebut. Karena Nabi saw tatkala 'Aisyah meminta umrah dari
beliau, beliau memerintahkan saudara laki-laki 'Aisyah, yaitu Abdurrahman
untuk keluar dengan 'Aisyah ke tanah halal dan berihram dari tempat
tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa orang yang umrah itu tidak boleh
berihram umrah dari tanah haram. Dan sesungguhnya dia berihram umrah hanya
boleh dari tanah halal.
لَبَّيْكَ اللَّـَهُمَّ لَبَّيْكَ ، اَلسَيِّدْ
مُحَمَّدْ بِنْ عَلْوِيْ الْمَالِكِيْ صـ 121
قَالَ فِي كَشَّافِ الْقَنَاعِ : مَنْ كَانَ فِي الْحَرَمِ مِنْ مَكِّيٍّ
وَغَيْرِهِ خَرَجَ اِلَى الْحِلِّ فَأَحْرَمَ مِنْ اَدْنَاهُ ، وَمِنَ
التَنْعِيْمِ اَفْضَلُ .
قَالَ ابْنُ سِيْرِيْن : بَلَغَنِيَ اَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم
وَقَّتْ لأَِهْلِ مَكَّةَ التَّنْعِيْمَ .
Dalam kitab "Kasysyaaful Qona'", Sayyid Muhammad Alwi
Al-Maliki Al-Husaini berkata, "Barangsiapa yang berada di tanah haram, dari
penduduk Makkah atau lainnya, maka dia keluar ke tanah halal kemudian
melakukan ihram dari tempat yang paling dekat. Dan dari Tan'im adalah lebih
utama."
Ibnu Sirin berkata, "Telah sampai kepadaku bahwa Nabi saw telah menentukan
miqat bagi penduduk Makkah di Tan'im."
القرى لقاصد ام القرى ص 615
عَنْ مِحْرَشِ الْكَعْبِى اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم خَرَجَ
مِنَ الْجِعْرَانَةِ لَيْلاً مُعْتَمِرًا وَجَاءَ مَكَّةَ لَيْلاً فَقَضَى
عُمْرَتَهُ ثُمَّ خَرَجَ
مِنْ لَيْلَتهِ وَاَصْبَحَ فِيْ الْجِعْرَانَةِ
كَبَائِتٍ . أَخْرَجَهُ اَحْمَدُ وَالتِّرْمِذِي
Diriwayatkan dari Mihrasy al-Ka'bi bahwa Rasulullah
saw telah keluar dari Ji'ranah pada malam hari dalam keadaan umrah dan
datang di Makkah pada malam hari. Kemudian menunaikan umrah beliau, kemudian
keluar pada malam hari itu dan masuk pada waktu pagi di Ji'ranah seperti
orang yang menginap. HR. Ahmad dan at-Tirmidzi.
المغنى في فقه الحج والعمرة : سعيد بن عبد القادر
باشنفر ص 64
أَمَّا الْمِيْقَاتُ الْمَكَانِيُّ : فَاْلأَفَقِيُّ مِيْقَاتُهُ لِلْحَجِّ
هُوَ مِيْقَاتُهُ لِلْعُمْرَةِ ، أَمَّا الْمَكِّيُّ فَجَمَاهِيْرُ أَهْلِ
الْعِلْمِ اَنْ لاَ يُهِلَّ بِالْعُمْرَةِ مِنْ مَكَّةَ بَلْ يَخْرُجُ
اِلَى الْحِلِّ وَيُحْرِمُ مِنْهُ . وَهُوَ قَوْلُ اْلأَئِمَّـَةِ
اْلأَرْبَعَةِ .
Adapun miqat makani, maka orang-orang yang tidak
mempunyai miqat tertentu, miqatnya untuk ihram haji adalah miqatnya untuk
ihram umrah. Adapun orang Makkah, maka jumhur (sebagian besar ahli ilmu),
sesungguhnya dia tidak boleh berihram untuk umrah dari kota Makkah, akan
tetapi keluar ke tanah halal dan melakukan ihram dari tempat tersebut. Dan
itulah pendapat dari imam madzhab empat.
قَالَ الْمُحِبُّ الطَّبَرِيُّ : لاَ اَعْلَمُ اَحَدًا
جَعَلَ مَكَّةَ مِيْقَاتًا لِلْعُمْرَةِ . وَكَذَا قَالَ الْحَافِظُ ابْنُ
حَجَرٍ الْعَسْقَلاَنِيَّ فِي فَتْحِ الْبَارِي .
Al-Muhib at-Thabari berkata, "Saya tidak mengetahui
seseorang pun yang menjadikan kota Makkah sebagai miqat untuk ihram umrah.
Dan seperti inilah al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani berkata dalam kitab
"Fathul Bari".
Tidak boleh. Karena tata laksana memulai ihram umrah
berbeda dengan cara memulai ihram haji.
اِبْنِ بَازْ : التَّحْقِيْقُ واْلإِيْضَاحُ صـ 34-35
وَهَذَا الْحَدِيْثُ يُخَصِّصُ حَدِيْثَ ابْنِ عَبَّاسٍ الْمُتَقَدِّمَ
"مَنْ كَانَ دُوْنَ ذَلِكَ فَمُهَلُّهُ مِنْ اَهْلِهِ حَتىَّ اَهْلِ
مَكَّةَ يُهِلُّوْنَ مِنْ مَكَّةَ" اَخْرَجَهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ
وَيَدُلُّ عَلَى اَنَّ الْمُرَادَ مِنْ قَوْلِهِ صلى الله عليه وسلم
"حَتىَّ اَهْلِ مَكَّةَ يُهِلُّوْنَ مِنْ مَكَّةَ" هُوَ اْلإِهْلاَلُ
بِالْحَجِّ لاَ عُمْرَةٍ . اِذْ لَوْ كَانَ اْلإِهْلاَلُ بِالْعُمْرَةِ
جَائِزًا مِنْ الْحَرَمِ ِلأَذِنَ عَائِشَةَ رضي الله عنها فِي ذَلِكَ
وَلَمْ يُكَلِّفْهَا بِالْخُرُوْجِ اِلَى الْحِلِّ . وَهَذَا اَمْرٌ
وَاضِحٌ وَهُوَ قَوْلُ الْجُمْهُوْرِ. وَهُوَ اَحْوَطُ لِلْمُؤْمِنِ ،
ِلأَنَّ فِيْهِ الْعَمَلَ بِالْحَدِيْثَيْنِ جَمِيْعًا .
Hadits ini adalah mentakhsis (mengkhususkan) hadits dari
Ibnu 'Abbas yang terdahulu, yaitu, "Barangsiapa yang tempat tinggalnya
kurang dari jarak tersebut. Maka tempat ihramnya adalah dari keluarganya.
Sehingga penduduk Makkah melakukan ihram dari kota Makkah." Hadits riwayat
Bukhari dan Muslim.
Hadits tersebut menunjukkan bahwa yang dimaksud dari sabda Nabi saw,
"Sehingga penduduk Makkah melakukan ihram dari kota Makkah", adalah "ihram
haji dan bukan ihram umrah". Karena andaikata ihram untuk umrah itu
diperbolehkan dari tanah haram, niscaya Nabi saw mengizinkan 'Aisyah ra
dalam hal tersebut dan tidak memaksanya keluar ke tanah halal. Dan ini
adalah perkara yang jelas, dan inilah pendapat jumhur, dan pendapat yang
lebih hati-hati bagi orang mukmin. Karena di dalamnya terdapat pengamalan
bagi kedua hadits semuanya.
لَبَّيْكَ اللَّـَهُمَّ لَبَّيْكَ ، اَلسَيِّدْ
مُحَمَّدْ بِنْ عَلْوِيْ الْمَالِكِيْ صـ 121
قَالَ اْلإِمَامُ الشَّافِعِيُّ فِي اْلأُمِّ : وَإِذَا اَهَلَّ بِحَجٍّ
ثُمَّ اَرَادَ الْعُمْرَةَ ، اَنْشَأَ الْعُمْرَةَ مِنْ أَيِّ مَوْضِعٍ
شَاءَ اِذَا خَرَجَ مِنَ الْحَرَمِ ، أَيْ اِلَى الْحِلِّ .
Imam Asy-Syafi'i dalam Kitab "Al-Um" berkata, "Apabila
seseorang berihram haji kemudian dia ingin umrah, maka dia memulai umrah
dari tempat yang manapun dia inginkan apabila dia keluar dari tanah haram,
artinya pergi ke tanah halal."